Rabu, 07 Agustus 2013

Goenawan Mohamad "Maaf"

Nasionalisme bisa melampaui dirinya sendiri. Memang tak selalu.  Tapi Nelson Mandela telah menunjukkannya. Bila ia terasa tulus dan menggetarkan,  itu karena suaranya datang dari kancah orang-orang yang menanggungkan aniaya yang begitu jahanam hingga terasa tak pantas terjadi pada siapa saja,  Afrika atau bukan Afrika.
Ia menulis dalam otobiografinya yang memukau, Long Walk To Freedom: “Menjadi merdeka bukanlah semata-mata melempar jauh-jauh rantai yang membelenggu diri sendiri”. Menjadi merdeka berarti “hidup dengan menghormati dan meneguhkan kemerdekaan orang lain.”
Kalimat itu, tercantum di bagian akhir buku itu, punya riwayat yang berliku, terpatah-patah, tapi senantiasa teguh.
Ceritanya dimulai dari akhir sebuah ritus, ketika ia masih dipanggil dengan nama kecilnya, Rolihlahla,  Pada umur 16, bocah  suku Xhosa itu baru selesai menjalani upacara disunat.  Bersama anak-anak lain di desanya, ia harus meninggalkan tahap remajanya, menjadi abkhwetha yang, siap dipotong kulit kulupnya.  Setelah itu segala lambang dari  masa lalu hidupnya dibakar.
Rolihlahla merasa bangga telah melalu ritus itu, apalagi ia diberi hadiah seekor lembu muda dan empat ekor domba. Tapi sesuatu tiba-tiba mengganggu kegembiraannya. Seorang-orang tua, Meligqili, ketua suku, berpidato.  Di tengah sambutannya ia memandang ke arah para pemuda yang baru disunat.


Di sana duduk putra-putra kita, muda, sehat, dan tampan, kembang suku Xhosa, kebanggaan bangsa kita. Kita baru menyunat mereka dalam satu upacara yang menjanjikan kehidupan lelaki.. Tapi… janji itu kosong dan memperdaya… Karena kita, orang-orang Xhosa, dan semua orang hitam di Afrika Selatan, adalah kaum yang ditaklukkan. Kita budak di negeri kita sendiri. Kita penyewa tanah kita sendiri. Kita tak punya kekuatan, kekuasaan, kendali atas nasib kita sendiri di tanah kelahiran kita. Anak-anak muda itu akan pergi ke kota-kota besar, tempat mereka akan hidup dalam gubuk dan menenggak alkohol murah,… karena kita tak punya tanah yang bisa berikan kepada mereka tempat mereka bisa makmur dan beranak-pinak. Mereka akan batuk memuntahkan isi paru-paru mereka ke dalam tambang-tambang orang kulit putih… hingga orang putih dapat hidup sejahtera tiada tara.”

Kata-kata dari kemarahan di lubuk hati itu memperkenalkan Rolhlaha dengan penindasan — meskipun malam itu ia anggap Pak Ketua Suku bodoh karena menampik kehadiran orang kulit putih yang telah membawa dunia modern ke Afrika Selatan.  Mandela jengkel — tapi sebenarnya apa yang dikatakan Meligqili masuk ke hatinya. Pak tua itu “telah menanamkan sebutir benih” yang kelak tumbuh.
Kelak — ketika ia sadar bahwa yang bodoh hari itu bukanlah Meligqili, tapi dirinya.
Kemudian datang seorang penyair.
Krune Mqhayi adalah imbongi  yang menyanyikan lagu-lagu pujian untuk kejadian penting dalam sejarah suku.  Tapi ia juga novelis bahasa Xhosa yang berpengaruh. Ketika ia datang ke sekolah menengah tempat Mandela belajar, panggung pun disiapkan dan semua guru serta petugas administrasi sekolah hadir. Mandela berdebar-debar menunggu tokoh ini muncul.
Tapi pada pandangan pertama, Mqhayi mengecewakannya. Penyair ini menarik perhatian karena ia mengenakan kaross kulit macan tutul beserta topinya dan membawa sebatang tombak assegai. Tapi sosoknya tak menonjol, bicaranya tak lancar, juga gerak tubuhnya. Satu saat, ujung tombaknya membentur kawat logam pada tirai. Bunyinya keras dan tirainya goyang.
Tapi kemudian, justru benturan tombak dengan kawat logam itu bukan sia-sia: Mqhayi membuatnya jadi sebuah amsal. Suaranya mengeras ketika ia memaparkan bahwa tombak itu, yang diraut dari tulang hewan, melambangkan keagungan Afrika, “Afrika sebagai pahlawan perang dan Afrika sebagai seniman”.  Sementara si kawat logam hasil pabrik orang Barat, “trampil tapi dingin, pintar tapi tak berjiwa”.  Maka benturan tadi sesungguhnya sebuah kiasan tentang “bentrokan yang sengit antara yang pribumi, yang baik, dan yang asing, yang buruk”.
Yang “pribumi”, bagi Mqhayi, adalah Xhosa — bukan Afrika Hitam seluruhnya. Sang penyair mempersembahkan Bintang Pagi kepada “Bumi Xhosa”, “bangsa yang bangga dan perkasa”.  Ia mengatakannya sambil merunduk, berlutut.
Syahdan, yang hadir, terutama Mandela, bertepuk tangan gemuruh. “Aku bangga benar-benar, bukan sebagai seorang Afrika, tapi sebagai seorang Xhosa”, tulisnya.  Ia, yang pada umur 16 disadarkan akan adanya penindasan orang kulit putih terhadap “semua orang hitam di Afrika”, hari itu justru terbawa ke dalam nasionalisme yang “parokhial”.
Kita tahu kemudian Mandela berubah. Ia kembali ke nasionalisme yang merangkul semua: Xhosa dan bukan Xhosa, kulit hitam atau bukan. Ia, yang pernah dipenjara total selama 27  tahun, telah menanggungkan sebuah rezim yang dengan brutal mengukuhkan supremasi orang kulitputih. Ia bagian dari Afrika yang diperlakukan sebagai makhluk yang tak pantas dianggap setara.  Tapi di akhir hukuman penjaranya kata-katanya seperti suara pemberian maaf yang mustahil: “Berjalan menuju gerbang yang  mengantarku ke kebebasan, aku tahu, jika tak kutinggalkan kepahitan dan kebencianku, aku akan tetap seorang yang terpenjara.”
Kalimat itu pasti bukan untuk dunia yang hanya mau memaafkan bila si jahat bertobat. Maaf Mandela tak menuntut itu, juga tak meletakkan diri lebih luhur. Derrida, yang mendambakan “permaafan yang murni”, akan menyebut sikap Mandela, yang dikaguminya, sebagai “kegilaan” meloncat ke dalam la nuit de l’inintelligible — malam yang menyimpan hal-hal yang tak perlu dimengerti.  Tapi maaf yang sulit dimengerti itu menyelamatkan kita dari kebencian baru.
Goenawan Mohamad

1 komentar: