Rabu, 07 Agustus 2013

Goenawan Mohamad "Kemosabi"

John Reid: I’m not a savage!
Tonto: You are not a man.
Seorang lelaki bertopeng, berpakaian putih bertopi putih dan menaiki seekor kuda yang putih pula, menempuh keluasan Texas dan masuk ke dunia saya diam-diam. Dalam bentuk komik. Ketika itu saya masih di sekolah dasar.  Tokoh itu, The Lone Ranger, sering saya temukan di salah satu lembaran koran bekas dari Amerika yang terlontar ke kota kecil kami sebagai bahan impor untuk pembungkus.
Saya belum mengerti bahasa Inggris, dan tak tahu tentang isi cerita bergambar itu. Beberapa tahun kemudian saya baru mengerti, ini kisah kepahlawanan John Reid, ciptaan Fran Striker dan George W. Trendle. Tentu sang pahlawan melawan para penjahat, seperti umumnya jagoan cerita Western. Yang khas pada Reid: ia menyamar. Ia hanya dikenal sebagai “The Lone Ranger”.  Dan ia punya sahabat sejati bernama Tonto, seorang Indian.
Saya juga baru kemudian tahu  dari mana Tonto muncul. The Lone Ranger diproduksi pada 1933, bukan dalam bentuk komik, tapi sandiwara radio di Studio WXYZ di Detroit. Agar sang tokoh utama tak terus menerus omong sendirian, ia perlu teman.  Pada episode ke-11,  Tonto diciptakan — tanpa dipikirkan matang-matang tampaknya, sebab dari Studio WXYZ  ada dua versi tentang kenapa ia jadi pendamping  John Reid.
Yang pertama dikisahkan dalam siaran 7 Desember 1938:  Tonto terluka ketika sebuah tambang emas diledakkan penjahat. Ia sengaja tak dibunuh agar bisa dituduh sebagai pelakunya. Tapi  Reid menyelamatkannya.
Versi kedua, ketika cerita ini mulai jadi seri televisi: justru Tonto yang berjasa. Lima orang anggota Texas Ranger dijebak bandit Butch Cavendish.  Hanya Reid yang hidup. Tonto, yang kebetulan menyaksikan pembantaian itu, menolongnya.  Kata yang empunya cerita, orang Indian ini mengenali kembali Reid. Dulu, ketika mereka berdua masih anak-anak, John pernah menyelamatkannya.  Sejak itu Tonto menyebutnya “Kemosabi”.  Menurut versi sandiwara radio, kata itu dalam bahasa suku Tonto berarti “teman setia”. Menurut versi serial televisi, “kemosabi” berarti “pemandu yang tepercaya”.
Menarik bahwa dalam versi film tahun 2013  kata itu oleh Tonto (diperankan Johny Depp) justru diartikan sebagai “teman yang keliru”.
Film, komik, legenda — bahkan teks-teks sakral — bisa diulang, bisa diberi versi baru,  atau sekedar dibaca lagi. Tapi tiap kali ia berubah. Manusia, dalam ruang dan waktu, tak bisa kembali persis ke situasi yang telah lewat — juga dalam tafsirnya.  Tonto dari tahun 1930-an adalah Tonto dari masa ketika  mayoritas orang Amerika memandang orang kulit merah sebagai  manusia sezaman yang hidup di waktu yang berbeda –  di masa yang seharusnya sudah lampau. Kata “primitif”, “biadab” (savage), atau “terkebelakang” datang dari sikap yang menampik ke-sama-an waktu itu.
Dalam Time and the Other, Johannes Fabian menyebut penampikan itu “a denial of coevalness.”   Anthrolog terkemuka itu mengemukakan satu kritik terhadap anthropologi zaman mutakhir.  Fabian menunjukkan bahwa sejak abad ke-19  dalam antropologi ada sejenis “politik waktu.” Dalam chronopolitics itu mereka yang menguasai wacana memroyeksikan waktu sebagai ruang. Mereka letakkan manusia dan kebudayaannya dalam deret jenjang di ruang itu. Lalu mereka letakkan Tonto (dan manusia di luar Eropa modern) dalam sebuah jarak — dan jadi “yang-lain”.
Tapi ada beberapa arti  “yang-lain”, yang dalam bahasa Inggris disebut the Other.   “Yang-lain”, yang “mereka”, yang “bukan-kita” adalah Tonto dari zaman ketika ia dan bangsanya dihadirkan karena alasan praktis:  untuk membebaskan The Lone Ranger yang berkulit putih itu dari kejemuan monolog.
Tapi ada yang berharga ketika cerita terjadi:  dalam narasinya, pelan atau segera, “yang-lain” berubah jadi liyan.  Kata ini berasal dari bahasa Jawa, liya,  yang berartilain”, “berbeda”. Namun dalam konteks yang berbeda, liyan bisa lebih dekat dengan “sesama”.  Misalnya dalam kalimat Aja gawe sengsaraning liyan  (“jangan menyengsarakan sesama”).
Walhasil, lyan  tak bisa dipatok dalam identitas, tak dibicarakan dengan rumus a priori. Ia hidup dalam konteks dan proses. Ia hidup dalam kejadian.
Kejadian itulah yang membentuk narasi cerita. Dengan itu, Tonto yang semula hanya diniatkan buat mengisi kekosongan suara, berkembang jadi orang yang mendengarkan dan didengarkan — dan dengan demikian  ikut membentuk Reid. Mereka bersama-sama jadi unsur suspens cerita. Bahkan dalam versi film yang beredar tahun ini, disutradarai Gore Verbinski, Tonto adalah dasar cerita.
Film ini dimulai dengan adegan seorang bocah yang mengunjungi Pekan Raya San Fransisco 1933.  Ia bertemu dengan seorang tua dari suku Comanche; dialah Tonto. Dari mulut orang inilah, dari ingatannya, kisah The Lone Ranger tersusun.
Mungkin karena ini tahun 2013. Bila dulu orang Indian adalah sosok yang hanya hadir sebagai gambaran orang kulit putih,  kini  kian sulit membicarakan bangsa yang sekarang disebut “bumiputra Amerika” itu in absentia.   Kini Tonto dalam tubuh Johny Depp bisa mengejek “kemosabi” sebagai “teman yang keliru”.  Ia bisa mengecam pretensi The Lone Ranger untuk beradab di Texas yang buas (“I am not a savage”) sebagai kenaifan dan ke-satu-sisi-an.  Kata-kata Tonto kepadanya, “You are not a man” bisa berarti “kamu tak jantan”,  tapi juga bisa berarti “kamu bukan manusia”.
Tapi apa itu “manusia”?  Manusia adalah Tonto. Ia liyan dan juga sesama.  Kehadirannya saat ini bukan mewakili tafsir terakhir tentang dirinya. Ia tak bisa ada di luar différance. Maka cerita dan sejarah jadi hidup dan hidup jadi sejarah — dan  saat, tempat, dan orang-orang pun berubah, dan yang beradab dan yang biadab (dan entah apalagi) berganti-ganti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar