Rabu, 07 Agustus 2013

Goenawan Mohamad "Rahim"

Dalam bahasa Arab ada sepasang kata yang tiap kali diucapkan seorang muslim: “rahman” dan “rahim”. Kata itu sering diterjemahkan jadi “pengasih dan penyayang”, tapi lebih akurat bahasa Inggris-nya: compassioniate, dari kata compassion.
Ada yang meng-indonesia-kannya jadi “belarasa”, tapi saya kira kata “bela” mengandung hadirnya sebuah subyek yang menentukan sebuah laku, seperti dalam kata “bela diri” atau “bela sungkawa”. Compassion justru bermula dari saat tak menonjolnya subyek. Kata “rahim” juga berarti “kandungan”; dalam bahasa Ibrani, riḥam berakar kata reḥem, artinya “ibu” atau “rahim”. Di sanalah saat dua pihak bersentuhan akrab, saling menumbuhkan: aku ada bersama engkau, di dalam engkau, ketika rasa sakit, duka, dan kehilangan melukai engkau.
Kata “engkau” berarti siapa saja: liyan yang tak dibatasi identitas, liyan yang satu-satunya cirinya adalah menanggungkan penderitaan. Itulah saat compassion seperti dalam cerita Yesus tentang seorang Samaria yang tanpa pamrih menolong seorang Yahudi: menyelamatkan seorang yang luka-luka karena diserang perampok meskipun ia dan orang itu berasal dari puak-puak yang saling membenci.
Karen Armstrong memahami hal ini jauh sebelum ia menulis Twelve Steps to A Compassionate Life. Ia berbicara tentang kenosis, mengosongkan diri, membuat “aku” suwung, dan ekstasis, mengeluarkan diri. “Kita paling kreatif dan menyadari kemungkinan-kemungkinan lain yang melampaui pengalaman kita sehari-hari ketika kita meninggalkan diri kita”. Itu kalimatnya dalam The Spiral Staircase: My Climb Out of Darkness.
Buku yang terbit pada 2004 ini kisah pergulatan batinnya sejak pada 1962 ia masuk ke dalam kehidupan biarawati sampai ketika ia meninggalkannya — seraya melambai selamat tinggal kepada Tuhan dan imannya.
Perjalanan itu tak mudah. Sebuah puisi memberinya imaji tentang kegalauan diri itu. Armstrong, yang kemudian masuk ke jurusan sastra di Oxford, membaca sajak T.S. Eliot Ash Wednesday yang seakan-akan ingin menyusun doa di hari pertama puasa menjelang Paskah. Ia bayangkan sang penyair menaiki sebuah tangga spiral: naik, berpusar, berulang, mendaki terus. Dan biarawati muda itu merasa bahwa ia juga sedang berada dalam tangga berkelok-kelok ke atas itu: sebuah perjalanan puasa dan taubat. Ia merasa hatinya yang buncah ditemani baris-baris sajak yang memukau itu: saat-saat yang selaras berganti-ganti dengan yang ganjil, yang disonan, terkadang berulang-ulang, sering mengejutkan, tak jarang dalam susunan yang samar. Bahkan suram, antara tekad dan putus asa:
Because I do not hope to turn again
Because I do not hope
Because I do not hope to turn
Pada mulanya adalah diri yang tak berarti. Di awal puasa, orang Katolik, tulis Armstrong, “membalur dahi mereka dengan abu untuk mengingatkan mereka akan kefanaan mereka”. Sebab hanya ketika kita menyadari kerapuhan dalam fitrah kita, kita akan dapat memulai ikhtiar kita untuk menjangkau.
Meskipun dalam dirinya tak ada harapan kebangkitan kembali di ujung tangga spiral itu, tampaknya masih ada sisa makna tradisi itu ketika Armstrong berbicara tentang kenosis dan ekstasis dalam proses menyatukan diri dengan liyan, dengan yang di luar diri. Sebaris kalimat dalam Ash Wednesday bisa mengingatkan hubungan antara ketiadaan ego itu dengan kebersamaan: Forgetting themselves and each other, united/In the quiet of the desert. Ketika semua orang “melupakan diri mereka sendiri dan satu sama lain, mereka pun berpadu, dalam sunyi gurun pasir”.
Menarik, Armstrong mengacu ke sajak Eliot yang ditulis setelah sang penyair memilih jadi umat Gereja Anglikan (ia sebut “Anglo-Katolik”), sementara Armstrong sendiri meninggalkan kepercayaan Katoliknya. Dan lebih radikal, Tuhan tak hadir lagi dalam kehidupannya.
Tapi tak untuk selamanya. Kemudian ia menelaah agama di luar Kristen, mempelajari Islam dan Yudaisme. Ia pun merasa Tuhan berarti kembali justru dalam ketidak-hadiran. Armstrong menyebut dirinya “freelance monotheist”, seorang monotheis yang tak bergabung dalam agama apapun. Ada yang menyebutnya atheis, tapi baginya, atheisme sebenarnya menampik Tuhan dalam citra tertentu. Jika Tuhan dilihat sebagai satu ego yang mencampuri kemerdekaan dan kreatifitas manusia, Ia mirip tiran di bumi yang membuat siapa saja cuma sekrup dalam mesin yang dikontrolnya. Dalam hal itu atheisme dapat “dibenarkan”. Bagi Armstrong, Tuhan patut ditolak bila Ia membuat kita kejam, mudah menghakimi, menghukum, dan menyingkirkan, jauh dari sifat rahim.
Sebab yang utama adalah bagaimana berbuat baik. “Cara sejati menghormati Tuhan hanyalah dengan bertindak secara moral seraya tak menghiraukan bahwa Ia ada,” tulisnya dalam A History of God.
Bertindak secara moral berarti memperlakukan liyan, mereka yang bukan-aku, sebagai tanda rahmat-Nya. Dalam kalimat yang mengingatkan kita kepada Emanuel Lévinas, Armstrong mengatakan, kita kadang-kadang dapat menemukan Tuhan dalam “asingnya seorang asing”, “sebuah sifat asing yang mula-mula dapat membuat kita jijik tapi dapat menyentakkan kita dari sikap mementingkan diri sendiri”, meskipun orang itu “bukan bagian dari kelompok ethnik, agama atau ideologi kita”. Dalam “intonations of that sacred otherness” itulah kita dengar sabda Tuhan.
Di satu bagian Ash Wednesday ada baris yang bertanya, akankah suster yang bercadar itu berdoa juga bagi “anak-anak di pintu gerbang yang tak hendak pergi, yang tak bisa berdoa” — dan juga yang menentang.
Will the veiled sister pray
For children at the gate
Who will not go away and cannot pray:
Pray for those who chose and oppose
Saya yakin, Armstrong akan menjawab “seharusnya”.
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad "Maaf"

Nasionalisme bisa melampaui dirinya sendiri. Memang tak selalu.  Tapi Nelson Mandela telah menunjukkannya. Bila ia terasa tulus dan menggetarkan,  itu karena suaranya datang dari kancah orang-orang yang menanggungkan aniaya yang begitu jahanam hingga terasa tak pantas terjadi pada siapa saja,  Afrika atau bukan Afrika.
Ia menulis dalam otobiografinya yang memukau, Long Walk To Freedom: “Menjadi merdeka bukanlah semata-mata melempar jauh-jauh rantai yang membelenggu diri sendiri”. Menjadi merdeka berarti “hidup dengan menghormati dan meneguhkan kemerdekaan orang lain.”
Kalimat itu, tercantum di bagian akhir buku itu, punya riwayat yang berliku, terpatah-patah, tapi senantiasa teguh.
Ceritanya dimulai dari akhir sebuah ritus, ketika ia masih dipanggil dengan nama kecilnya, Rolihlahla,  Pada umur 16, bocah  suku Xhosa itu baru selesai menjalani upacara disunat.  Bersama anak-anak lain di desanya, ia harus meninggalkan tahap remajanya, menjadi abkhwetha yang, siap dipotong kulit kulupnya.  Setelah itu segala lambang dari  masa lalu hidupnya dibakar.
Rolihlahla merasa bangga telah melalu ritus itu, apalagi ia diberi hadiah seekor lembu muda dan empat ekor domba. Tapi sesuatu tiba-tiba mengganggu kegembiraannya. Seorang-orang tua, Meligqili, ketua suku, berpidato.  Di tengah sambutannya ia memandang ke arah para pemuda yang baru disunat.


Di sana duduk putra-putra kita, muda, sehat, dan tampan, kembang suku Xhosa, kebanggaan bangsa kita. Kita baru menyunat mereka dalam satu upacara yang menjanjikan kehidupan lelaki.. Tapi… janji itu kosong dan memperdaya… Karena kita, orang-orang Xhosa, dan semua orang hitam di Afrika Selatan, adalah kaum yang ditaklukkan. Kita budak di negeri kita sendiri. Kita penyewa tanah kita sendiri. Kita tak punya kekuatan, kekuasaan, kendali atas nasib kita sendiri di tanah kelahiran kita. Anak-anak muda itu akan pergi ke kota-kota besar, tempat mereka akan hidup dalam gubuk dan menenggak alkohol murah,… karena kita tak punya tanah yang bisa berikan kepada mereka tempat mereka bisa makmur dan beranak-pinak. Mereka akan batuk memuntahkan isi paru-paru mereka ke dalam tambang-tambang orang kulit putih… hingga orang putih dapat hidup sejahtera tiada tara.”

Kata-kata dari kemarahan di lubuk hati itu memperkenalkan Rolhlaha dengan penindasan — meskipun malam itu ia anggap Pak Ketua Suku bodoh karena menampik kehadiran orang kulit putih yang telah membawa dunia modern ke Afrika Selatan.  Mandela jengkel — tapi sebenarnya apa yang dikatakan Meligqili masuk ke hatinya. Pak tua itu “telah menanamkan sebutir benih” yang kelak tumbuh.
Kelak — ketika ia sadar bahwa yang bodoh hari itu bukanlah Meligqili, tapi dirinya.
Kemudian datang seorang penyair.
Krune Mqhayi adalah imbongi  yang menyanyikan lagu-lagu pujian untuk kejadian penting dalam sejarah suku.  Tapi ia juga novelis bahasa Xhosa yang berpengaruh. Ketika ia datang ke sekolah menengah tempat Mandela belajar, panggung pun disiapkan dan semua guru serta petugas administrasi sekolah hadir. Mandela berdebar-debar menunggu tokoh ini muncul.
Tapi pada pandangan pertama, Mqhayi mengecewakannya. Penyair ini menarik perhatian karena ia mengenakan kaross kulit macan tutul beserta topinya dan membawa sebatang tombak assegai. Tapi sosoknya tak menonjol, bicaranya tak lancar, juga gerak tubuhnya. Satu saat, ujung tombaknya membentur kawat logam pada tirai. Bunyinya keras dan tirainya goyang.
Tapi kemudian, justru benturan tombak dengan kawat logam itu bukan sia-sia: Mqhayi membuatnya jadi sebuah amsal. Suaranya mengeras ketika ia memaparkan bahwa tombak itu, yang diraut dari tulang hewan, melambangkan keagungan Afrika, “Afrika sebagai pahlawan perang dan Afrika sebagai seniman”.  Sementara si kawat logam hasil pabrik orang Barat, “trampil tapi dingin, pintar tapi tak berjiwa”.  Maka benturan tadi sesungguhnya sebuah kiasan tentang “bentrokan yang sengit antara yang pribumi, yang baik, dan yang asing, yang buruk”.
Yang “pribumi”, bagi Mqhayi, adalah Xhosa — bukan Afrika Hitam seluruhnya. Sang penyair mempersembahkan Bintang Pagi kepada “Bumi Xhosa”, “bangsa yang bangga dan perkasa”.  Ia mengatakannya sambil merunduk, berlutut.
Syahdan, yang hadir, terutama Mandela, bertepuk tangan gemuruh. “Aku bangga benar-benar, bukan sebagai seorang Afrika, tapi sebagai seorang Xhosa”, tulisnya.  Ia, yang pada umur 16 disadarkan akan adanya penindasan orang kulit putih terhadap “semua orang hitam di Afrika”, hari itu justru terbawa ke dalam nasionalisme yang “parokhial”.
Kita tahu kemudian Mandela berubah. Ia kembali ke nasionalisme yang merangkul semua: Xhosa dan bukan Xhosa, kulit hitam atau bukan. Ia, yang pernah dipenjara total selama 27  tahun, telah menanggungkan sebuah rezim yang dengan brutal mengukuhkan supremasi orang kulitputih. Ia bagian dari Afrika yang diperlakukan sebagai makhluk yang tak pantas dianggap setara.  Tapi di akhir hukuman penjaranya kata-katanya seperti suara pemberian maaf yang mustahil: “Berjalan menuju gerbang yang  mengantarku ke kebebasan, aku tahu, jika tak kutinggalkan kepahitan dan kebencianku, aku akan tetap seorang yang terpenjara.”
Kalimat itu pasti bukan untuk dunia yang hanya mau memaafkan bila si jahat bertobat. Maaf Mandela tak menuntut itu, juga tak meletakkan diri lebih luhur. Derrida, yang mendambakan “permaafan yang murni”, akan menyebut sikap Mandela, yang dikaguminya, sebagai “kegilaan” meloncat ke dalam la nuit de l’inintelligible — malam yang menyimpan hal-hal yang tak perlu dimengerti.  Tapi maaf yang sulit dimengerti itu menyelamatkan kita dari kebencian baru.
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad "Machiavelli, Marxisme, dan Mungkin"

…. ide-ide Niccolo Machiavelli, filsuf politik abad ke-16, sangat bermanfaat…  pendekatannya terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik.  Pendekatan ini berbeda sekali dengan fokus Marx dan pengikutnya pada pergolakan dan perbenturan kelas yang amat membatasi atau malah menafikan peran individu selaku penyebab perubahan sosial.                               
 R. William Liddle, ‘Marx atau Machiavelli: Menuju Demokrasi Yang Bermutu di Indonesia dan Amerika’ – ‘Nurcholish Madjid Memorial Lecture’, di Aula Universitas Paramadina, Jakarta, 8 Desember 2011.   
***
Machiavelli adalah sepatah kata kotor yang tidak bisa dielakkan. Nama itu selalu dikaitkan dengan kalimat ´tujuan menghalalkan cara.’  Tetapi  orang Italia ini  juga dikenang karena menulis sebuah buku tentang kepemimpinan politik yang selama 500 tahun diperbincangkan. Ia bukan cuma sebuah bunyi suram.
Ia memang tidak merumuskan pikirannya sebagai sebuah teori. Tak ada metafisika dalam tulisannya. Tak ada telaah etika.  Ia berangkat dari pengalaman — jalan panjang yang ujungnya kegagalan. Bukunya itu, Il Principe, yang dengan cepat rampung di tahun 1516,  ditulisnya di sebuah villa tua tempat ia mengundurkan diri. Setelah ia kalah.
Tiga tahun sebelumnya, ia, pejabat tinggi Republik Firenze, kalah dalam perang dan politik, kehilangan jabatan, dan sempat ditahan dan disiksa.  Selepas itu, bersama isteri dan empat anaknya ia menyingkir  ke San Casciano, 15 km di barat daya Firenze.
Dari sini lahir ‘pamflet’ itu, yang dalam bahasa Latin disebut De prinsipatibus, (belum dalam bentuk buku), pada tahun 1513. Uraiannya yang lebih panjang disebut  Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio — paparan seorang peminat sejarah yang sedang ingin mengubah zamannya seendiri.
Il Principe adalah analisa kiat kekuasaan.  Bila ‘teori politik’ sebelumya memberi pedoman bahwa seorang pemimpin politik baru sah menggunakan kekuasannya bila disertai moral yang lurus, Il Principe tidak. Dalam kitab ini politik adalah kepiawaian tinggi untuk membentuk, merebut, mempertahankan, dan memperkuat negara, lo stato. Moralitas dan agama hanya penting sepanjang membantu tujuan itu.
Buku itu dilarang Gereja pada tahun 1559. Machiavelli memang tak berharap banyak dari agama. Baginya, agama, dalam hal ini agama Kristen, hanya mengagungkan manusia yang lembut hati dan kontemplatif, bukan manusia yang bertindak. Padahal dalam politik yang terpenting adalah virtù.
Virtù berarti kejantanan, tapi maknanya bertaut dengan tindakan: ketegasan, keberanian, kegesitan, kelicikan — semua sikap yang perlu buat mengukuhkan kekuasaan.
Dengan virtù manusia menghadapi dan mengalahkan nasib, Fortuna.  Machiavelli mengiaskan Fortuna sebagai ‘sungai yang destruktif’, yang bila marah, mendatangkan banjir. Tapi ‘sungai’ itu, Fortuna, bisa dijinakkan. Dengan bahasa seorang misogynis, Machiavelli mengibaratkan Fortuna ‘seorang perempuan’ yang perlu digocoh dan dipentung, agar bisa ‘dikendalikan.’  Dengan virtù.
***
Machiavelli hidup di zaman Renaissance yang meyakini manusia sebagai pengukur semesta. Tidak mengherankan bila dengan konsep virtù ia membuka jalan bagi ide tentang ‘subyek’ yang jadi ciri dunia modern: manusia sebagai ‘aku’ yang tidak gentar sihir alam. Dengan akalnya, ‘aku’ menjinakkan nasib dan dunia.
Saya kira ide tentang ‘subyek’ itulah  yang bergema dalam pengertian Liddle tentang ‘individu’. Seperti saya kutip di atas tulisan ini, bagi Liddle individu itu ‘aktor mandiri’. Ia ‘memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik’.
Dari situ Liddle mengemukakan yang dilihatnya sebagai kelemahan, bahkan kegagalan, Marxisme.  Tapi saya berpendapat premis ilmuwan politik itu sendiri tidak kuat benar. Ada tiga kritik.
***
Asumsi Liddle tentang ‘individu’ bertolak dari ilusi.  Itu catatan saya yang pertama. Ia menyebut kemandirian seraya mengabaikan asal-usul kesadaran tentang ‘aku’ –  bahwa identifikasi diri sesungguhnya dibentuk oleh bahasa,  tata simbolik yang disusun dan dikukuhkan struktur sosial, hukum yang dijaga kekuasaan,  ‘superego’ atau apa yang disebut Lacan sebagai  nom-du-père, asma ‘Sang Bapak’ beserta larangan-larangannya.
Kemandirian sang aktor politik yang dikemukakan Liddle juga tidak memperhitungkan individu sebagai oknum yang terjerat alienasi sebagaimana dianalisa Hegel dan Marx: manusia yang dikendalikan pelbagai berhala yang dibangunnya sendiri, baik berupa benda, sistem, tradisi, atau keyakinan. Memang ada ‘kemauan bebas’, tetapi itu adalah momen ketika seseorang memilih bertindak; berada dalam-kemauan-bebas  bukanlah sifat dasarnya.
Kritik kedua: Machiavelli sendiri sebenarnya tidak sepenuhnya meletakkan ‘individu’, alias subyek, dalam posisi sentral. Risalahnya, yang dalam bahasa Latin disebut De prinsipatibus (bahasa Inggrisnya: principalities), lahir dari keprihatinan membangun keutuhan wilayah dengan sebuah negara yang kukuh. Machiavelli menginginkan   Italia yang  kuat, yang tidak terpecah dalam beberapa satuan politik; meskipun ia pernah tidak yakin, benarkah ia seorang patriot. Bila ia    membicarakan ‘Sang Raja’ senafas dengan ‘kerajaan’-nya atau Penguasa dengan la stato, itu karena ia hidup dengan sisa ingatan ke abad pertengahan, ketika kedua hal itu bertaut.
Orang pun terkecoh, tak melihat bahwa Il Principe justru berisi tuntutan yang harus dipenuhi Raja – termasuk bersedia  mengabaikan nilai-nilai moral pribadinya, demi tugas sebagai pemimpin. Individu — termasuk Sang Raja – hanya instrumen buat memperkukuh negara, lo stato. Ia terbelah sebagai subyek dan sebagai obyek.
Mungkin itu sebabnya, dalam Discorsi, Machiavelli tidak yakin sang Penguasa adalah sosok yang solid dalam merawat Republik. Judul bab LXIII kitab pertama: ‘Orang banyak (la multitudino) lebih arif dan lebih konstan ketimbang Raja’.  Dalam hal berhati-hati dan menjaga stabilitas, kata Machiavelli, il popolo (‘rakyat’) punya pertimbangan yang lebih baik. ‘Bukan tanpa alasan jika dikatakan, suara rakyat adalah suara Tuhan’, karena, katanya, ‘opini yang universal’ tampak menghasilkan hal-hal yang mengagumkan.
Tentu saja Machiavelli bukan seorang demokrat jenis abad modern. Tak tampak niatnya  menegaskan rakyat sebagai penyangga utama atau bahkan sumber kekuasaan Republik. Tapi ia tidak juga meletakkan posisi pemimpin sebagai  sumber tunggal kekuatan. Ada keprihatinan yang terus menerus: Machiavelli mengkhawatirkan  manusia (termasuk Raja) — yang baginya bukan makhluk yang ‘baik’ — akan bertindak destruktif bagi kelanjutan hidup negara. Virtù bisa mengendalikan itu, tapi juga hukum dan sistem untuk tak tergantung pada satu Pemimpin.
Dalam keprihatinan  itu Machiavelli melihat melihat kehidupan politik sebagai hubungan antagonistis — satu hal yang juga kemudian jadi premis teoritisi politik abad ke-20 seperti Schmitt, Laclau, dan Mouffle. Kekuasaan negara tumbuh dari konflik dan teror. Ketika ia menganjurkan agar sebuah Republik perlu merevitalisasi diri dengan ‘kembali ke dasar awal’-nya, Machiavelli mencontohkan prosedur – semacam ritual — yang dilakukan orang di Firenze tiap lima tahun sejak 1434-1494: melakukan  ripigliare lo stato, mengulang kembali penegakan negara, dengan membangkitkan rasa jeri dan takut (kepada musuh) seperti ketika di awal dulu.
Artinya, bagi Machiavelli, kekuasaan bukan datang dari desain di luar gerak sejarah. 
***
Mungkin itu sebabnya Machiavelli pernah dianggap sebagai ‘pendahulu pendekatan materialisme terhadap sejarah’. Dalam Political Thought from Machiavelli to Stalin: Revolutionary Machiavellism,  (Palgrave Macmillan: 2004), E.E. Rees mengutip kesimpulan itu dari ensiklopedia tentang negara dan hukum yang diterbitkan Uni Soviet di tahun 1925.
Tentu tidak tepat benar. Pandangan Marx tentang sejarah lebih optimistis. Bagi Machiavelli, watak manusia sama; dunia pada dasarnya tak berubah. Bagi Marx, dialektika akan melahirkan dunia baru tempat manusia merdeka.
Meski begitu, ada titik temu antara Machiavelli dan Marx:  keduanya tidak mengakui hadirnya apapun yang transendental. Tidak ada  rekayasa dari Langit atau ‘Aku’ di luar ruang & waktu. Subyek dan identitas — baik Raja dengan virtù‘-nya, il popolo (bangsa, rakyat) dengan hasrat kemerdekaannya, atau proletariat dengan aksi pembebasannya — justru  baru menegas dari antagonisme dan perjuangan politik. Pada awalnya bukanlah Ide.
Bedanya, Machiavelli — dari Italia abad ke-16 yang penuh guncangan politik — lebih peka akan ketidak-ajegan. Discorsi punya banyak contoh dari karya sejarawan lama Livio untuk menunjukkan bahwa dengan teror, tanpa desain, kekuasaan negara tumbuh dari keadaan suatu saat, suatu tempat. Perwujudannya beraneka-ragam sebagaimana beraneka-ragamnya kondisi  manusiawi.
Marx juga melihat kondisi manusiawi itu sebagai ‘basis’ dari ‘superstruktur’ yang berupa kekuasaan politik. Tetapi dari abad ke-19 yang bersemangat dengan kepastian ilmu (bukankah ia menawarkan ‘sosialisme yang ilmiah’?), Marx lebih yakin sejarah mengarah ke akhir yang tegas: masyarakat merdeka, tanpa pengisapan dan konflik.
Kita tentu tidak seyakin itu lagi. Zaman ini tak percaya lagi ilmu tak bisa salah. Selain itu, manusia telah mengalami krisis berkali-kali menghantam dunia di bawah kapitalisme, tetapi sampai awal abad ke-21 ini tidak tampak sosialisme mendekat. Wajar bila orang lebih cenderung kepada ketak-pastian Machiavelli.
Itu juga yang agaknya  mendorong filosof dan anggota setia Partai Komunis Prancis itu, Althusser, menulis sebuah risalah 100-halaman: Machiavel et Nous, yang terbit setelah ia meninggal dalam usia 72 pada tahun 1990. Mikko Lahtinen memaparkan dengan perseptif perkembangan pemikir Marxis terkemuka ini dalam Politics and Philosophy: Niccolo Machiavelli and Louis Althusser’s Aleatory Materialsm (Koninklijke Brill NV: 2009) — salah satu sumber saya untuk risalah ini.
Bagi Althusser, Machiavelli ‘pemikir materialis terbesar dalam sejarah’.  Namun ‘materialisme’-nya hampir seutuhnya dibentuk oleh praxis politik, hasil pergulatan dengan keadaan di suatu saat, pikiran yang mengikuti kaki yang bergerak terus di tanah. Ini sebuah materialisme yang bukan sistem filsafat, dan karena itu, berbeda dari Marxisme, tidak menjelaskan ke mana arahnya.
Althusser menyebutnya matérialisme aléatoire. Akar kata ini, alea (Latin), berarti dadu. Materialisme ini bertolak dari pengertian ´materi´ yang tak mendorong diri ke suatu bentuk, semacam dasar dunia kehidupan yang tidak mengarah ke satu sistem.  Bentuk dan sistem akan datang dari luar — tetapi datang seperti dadu yang dilontarkan ke ruang kosong (vuoto).  Serba-mungkin.
Di sana selalu berkecamuk antagonisme,  kompetisi kekuasaan untuk memberi bentuk –  terutama antara yang mau menguasai dan yang menampik dikuasai. Dan di ruang kosong yang bisa diisi pelbagai ‘mungkin’ itu, tidak ada satu kelompok pun yang pasti akan menang — atau bisa mengklaim hak untuk menang.
Tidak ada otoritas yang memutuskan.  Pintu terbuka. Sebuah gerak politik demokratis akan selalu mendesakkan diri. Bentuk kekuasaan yang lahir tidak akan bisa mengelakkannya, sebab ia hanya satu dari banyak kemungkinan. Termasuk ‘demokrasi liberal’ bukanlah penutup bagi kemungkinan-kemungkinan yang berbeda.
Dengan demikian ketegangan demokrasi bukanlah antara ‘individu’ dan ‘kolektifitas’, melainkan ketegangan menghadapi ‘mungkin’: ketegangan untuk mengisinya dengan berpegang kepada kebenaran yang diterima karena efektif (Machiavelli:  verità effettuale della cosa) tapi juga berpegang pada cita-cita tentang dunia yang tanpa penindasan. Seperti yang diinginkan Karl Marx.
Jakarta, 13 Desember 2011

Goenawan Mohamad "Kemosabi"

John Reid: I’m not a savage!
Tonto: You are not a man.
Seorang lelaki bertopeng, berpakaian putih bertopi putih dan menaiki seekor kuda yang putih pula, menempuh keluasan Texas dan masuk ke dunia saya diam-diam. Dalam bentuk komik. Ketika itu saya masih di sekolah dasar.  Tokoh itu, The Lone Ranger, sering saya temukan di salah satu lembaran koran bekas dari Amerika yang terlontar ke kota kecil kami sebagai bahan impor untuk pembungkus.
Saya belum mengerti bahasa Inggris, dan tak tahu tentang isi cerita bergambar itu. Beberapa tahun kemudian saya baru mengerti, ini kisah kepahlawanan John Reid, ciptaan Fran Striker dan George W. Trendle. Tentu sang pahlawan melawan para penjahat, seperti umumnya jagoan cerita Western. Yang khas pada Reid: ia menyamar. Ia hanya dikenal sebagai “The Lone Ranger”.  Dan ia punya sahabat sejati bernama Tonto, seorang Indian.
Saya juga baru kemudian tahu  dari mana Tonto muncul. The Lone Ranger diproduksi pada 1933, bukan dalam bentuk komik, tapi sandiwara radio di Studio WXYZ di Detroit. Agar sang tokoh utama tak terus menerus omong sendirian, ia perlu teman.  Pada episode ke-11,  Tonto diciptakan — tanpa dipikirkan matang-matang tampaknya, sebab dari Studio WXYZ  ada dua versi tentang kenapa ia jadi pendamping  John Reid.
Yang pertama dikisahkan dalam siaran 7 Desember 1938:  Tonto terluka ketika sebuah tambang emas diledakkan penjahat. Ia sengaja tak dibunuh agar bisa dituduh sebagai pelakunya. Tapi  Reid menyelamatkannya.
Versi kedua, ketika cerita ini mulai jadi seri televisi: justru Tonto yang berjasa. Lima orang anggota Texas Ranger dijebak bandit Butch Cavendish.  Hanya Reid yang hidup. Tonto, yang kebetulan menyaksikan pembantaian itu, menolongnya.  Kata yang empunya cerita, orang Indian ini mengenali kembali Reid. Dulu, ketika mereka berdua masih anak-anak, John pernah menyelamatkannya.  Sejak itu Tonto menyebutnya “Kemosabi”.  Menurut versi sandiwara radio, kata itu dalam bahasa suku Tonto berarti “teman setia”. Menurut versi serial televisi, “kemosabi” berarti “pemandu yang tepercaya”.
Menarik bahwa dalam versi film tahun 2013  kata itu oleh Tonto (diperankan Johny Depp) justru diartikan sebagai “teman yang keliru”.
Film, komik, legenda — bahkan teks-teks sakral — bisa diulang, bisa diberi versi baru,  atau sekedar dibaca lagi. Tapi tiap kali ia berubah. Manusia, dalam ruang dan waktu, tak bisa kembali persis ke situasi yang telah lewat — juga dalam tafsirnya.  Tonto dari tahun 1930-an adalah Tonto dari masa ketika  mayoritas orang Amerika memandang orang kulit merah sebagai  manusia sezaman yang hidup di waktu yang berbeda –  di masa yang seharusnya sudah lampau. Kata “primitif”, “biadab” (savage), atau “terkebelakang” datang dari sikap yang menampik ke-sama-an waktu itu.
Dalam Time and the Other, Johannes Fabian menyebut penampikan itu “a denial of coevalness.”   Anthrolog terkemuka itu mengemukakan satu kritik terhadap anthropologi zaman mutakhir.  Fabian menunjukkan bahwa sejak abad ke-19  dalam antropologi ada sejenis “politik waktu.” Dalam chronopolitics itu mereka yang menguasai wacana memroyeksikan waktu sebagai ruang. Mereka letakkan manusia dan kebudayaannya dalam deret jenjang di ruang itu. Lalu mereka letakkan Tonto (dan manusia di luar Eropa modern) dalam sebuah jarak — dan jadi “yang-lain”.
Tapi ada beberapa arti  “yang-lain”, yang dalam bahasa Inggris disebut the Other.   “Yang-lain”, yang “mereka”, yang “bukan-kita” adalah Tonto dari zaman ketika ia dan bangsanya dihadirkan karena alasan praktis:  untuk membebaskan The Lone Ranger yang berkulit putih itu dari kejemuan monolog.
Tapi ada yang berharga ketika cerita terjadi:  dalam narasinya, pelan atau segera, “yang-lain” berubah jadi liyan.  Kata ini berasal dari bahasa Jawa, liya,  yang berartilain”, “berbeda”. Namun dalam konteks yang berbeda, liyan bisa lebih dekat dengan “sesama”.  Misalnya dalam kalimat Aja gawe sengsaraning liyan  (“jangan menyengsarakan sesama”).
Walhasil, lyan  tak bisa dipatok dalam identitas, tak dibicarakan dengan rumus a priori. Ia hidup dalam konteks dan proses. Ia hidup dalam kejadian.
Kejadian itulah yang membentuk narasi cerita. Dengan itu, Tonto yang semula hanya diniatkan buat mengisi kekosongan suara, berkembang jadi orang yang mendengarkan dan didengarkan — dan dengan demikian  ikut membentuk Reid. Mereka bersama-sama jadi unsur suspens cerita. Bahkan dalam versi film yang beredar tahun ini, disutradarai Gore Verbinski, Tonto adalah dasar cerita.
Film ini dimulai dengan adegan seorang bocah yang mengunjungi Pekan Raya San Fransisco 1933.  Ia bertemu dengan seorang tua dari suku Comanche; dialah Tonto. Dari mulut orang inilah, dari ingatannya, kisah The Lone Ranger tersusun.
Mungkin karena ini tahun 2013. Bila dulu orang Indian adalah sosok yang hanya hadir sebagai gambaran orang kulit putih,  kini  kian sulit membicarakan bangsa yang sekarang disebut “bumiputra Amerika” itu in absentia.   Kini Tonto dalam tubuh Johny Depp bisa mengejek “kemosabi” sebagai “teman yang keliru”.  Ia bisa mengecam pretensi The Lone Ranger untuk beradab di Texas yang buas (“I am not a savage”) sebagai kenaifan dan ke-satu-sisi-an.  Kata-kata Tonto kepadanya, “You are not a man” bisa berarti “kamu tak jantan”,  tapi juga bisa berarti “kamu bukan manusia”.
Tapi apa itu “manusia”?  Manusia adalah Tonto. Ia liyan dan juga sesama.  Kehadirannya saat ini bukan mewakili tafsir terakhir tentang dirinya. Ia tak bisa ada di luar différance. Maka cerita dan sejarah jadi hidup dan hidup jadi sejarah — dan  saat, tempat, dan orang-orang pun berubah, dan yang beradab dan yang biadab (dan entah apalagi) berganti-ganti.

Goenawan Mohamad "Pentas"

Demokrasi adalah sebuah teater dan antiteater.  Ia dimulai dengan penolakan terhadap panggung, pajangan, gerak, permainan cahaya, pilihan kostum yang dipergunakan raja (di Eropa: juga Gereja) untuk membangkitkan imajinasi tentang kekuasaan yang mempesona dan mencengkam.
Dalam naskah Jawa ada Serat Mahasastata yang mengkodifikasikan tata cara dan tata busana kraton yang harus dipatuhi sebagaimana kewibawaan Raja dipatuhi.  Di balairung, di sitihinggil, baginda, punggawa, dan abdi adalah sosok-sosok yang berperan dan disaksikan, untuk dikagumi, setidaknya dinilai.
Peran panggung, tempat upacara dipertunjukkan, begitu penting dalam kekuasaan di masa silam, hingga Clifford Geertz, dalam satu studi tentang kerajaan Bali abad ke-19 menyimpulkan, “Power served pomp, not pomp power“. Kekuasaan itulah yang melayani kemegahan upacara, kata Geertz, dan bukan sebaliknya.
Saya tak yakin kesimpulan dalam Negara, The Theater State in 19th Century Bali itu benar. Tapi Geertz bisa dengan hidup melukiskan pertautan upacara ngaben raja-raja Bali dengan kemegahan dan kelanggengan derajat mereka:
“Seluruh upacara merupakan demonstrasi yang diulangi dengan beribu-ribu cara, dengan beribu-ribu citra, tentang betapa digdayanya hierarki menghadapi kekuatan yang paling ampuh dan membuat semua melata — Maut, anarki, gelora hati, api.  ‘Raja telah dibumihanguskan! Hidup derajatnya!”
Itu adegan dan kesan di abad lalu, tentu saja — yang kini umumnya tak diakui lagi. Perubahan dalam sejarah telah merontokkan aura dari pentas macam itu.  Beberapa tahun yang lalu saya ikut upacara ngaben keluarga sebuah puri besar di Bali. Upacara itu masih tetap spektakuler meskipun saya tak bisa mendapat kesan bahwa inilah bagian dari yang disebut Geertz “teater metafisik.” Seorang anggota keluarga puri berkata: “Kami hanya bisa menyelenggarakan ngaben yang besar jika rakyat ikut membantu puri.  Kami berutang budi kepada para petani itu.”
Raja pergi dan raja datang, tapi jelas makin merasuk sebuah kecenderungan  baru: para petani Bali itu, dan orang kebanyakan di manapun di negeri ini, telah mengenal sumber-sumber kekuasaan lain, pembawa aura lain, yang dirayakan tiap kali: Republik Indonesia.  Yang gemerlap dalam “negara teater” Geertz telah dibongkar sebagai hanya “sandiwara” — sebuah kata yang mengandung cemooh atau sikap tak percaya.
Di zaman ini, teater,”sandiwara” itu, dibenturkan ke “realitas”.
Bukan kebetulan jika semangat menegaskan “realitas” hidup sehari-hari datang berbareng dengan revolusi demokratik. Dalam sejarah kesenian, semangat itu diwakili “Realisme”.  Di Indonesia, misalnya, Pelukis S. Soedjojono menyuarakan semangat “Realisme” sebagai bagian dari “Revolusi Agustus”. Di Prancis abad ke-19: Coubert. Dalam sepucuk surat bertahun 1851, pelopor “Realisme” dalam seni rupa Prancis itu menyatakan: “Aku tak hanya seorang sosialis, tapi juga seorang demokrat dan pendukung ide republik.”
“Realisme” dan “demokrasi”:  cetusan anti-teater sebagai kehendak membongkar apa yang mereka anggap mitos dalam panggung politik raja-raja dan pembesar agama. Mitos disejajarkan dengan fantasi, dan fantasi atau imajinasi diletakkan sebagai lawan ilmu dan rasionalitas.  Dengan pemikiran seperti itulah Tan Malaka, misalnya, tokoh Marxisme Indonesia (yang percaya bahwa Marxisme itu ilmiah), menggugat manfaat cerita Ramayana bagi bangsanya.  Ia tak ingin mengutamakan teater. Ia ingin “ilmu bukti”.
Tapi demokrasi juga akhirnya punya tuntutan teaternya sendiri. Di zaman modern, gerakan massa merupakan bagian kehidupan politik yang tak terbendung.  Pawai, suara semboyan, nanyian perjuangan, poster, kata-kata bergelora, dan kostum yang spesial tampil di jalan, di lapangan dan di tribun-tribun.  Politik dan estetik bertaut; nilai yang diutamakan makin lama bukan transparansi seperti yang semula dicita-citakan demokrasi, melainkan yang oleh Walter Benjamin disebut “nilai pameran”, Ausstellungswert.

Dewasa ini “nilai pameran” itu bisa kita saksikan di sebuah pentas yang sangat efektif: televisi. Citra, bukan fakta, jadi menentukan. Ilmu bukti tak berlaku. Demokrasi berpisah dengan “realisme”. Yaron Ezrahi menulis sebuah buku, Imagined Democracies (Cambridge University Press, 2012) dengan sub-judul “necessary political fictions”.
Ezrahi tak serta merta mengecam politik sebagai kehidupan yang memerlukan fiksi.  Agaknya baginya apa boleh buat, demokrasi, sebagai arena persaingan dan perbantahan, akhirnya lebih mementingkan opini ketimbang kebenaran. Kini konstituen yang menentukan pilihan politiknya bukanlah makhluk yang melihat dunia dari posisi “aku berpikir”, tapi dari “aku-nonton-televisi.” Dan siapa menjamin ada kebenaran dalam TV?
Tapi hidup berjalan dengan apa yang disebut Ezrahi sebagai “suspension of disbelief”:  kita lebih baik tak terus menerus merisaukan “kebenaran” dari pentas yang disebut politik itu.  Seperti ketika kita membaca novel atau menonton film, kita memasuki fiksi sebagai fiksi — dan dari sana kita mengembangkan imajinasi. Kita menjelajah pelbagai kemungkinan makna. Kita kreatif.
Kita bisa tersesat, tapi kata “sesat” bukan kata yang tepat. Teater punya “kebenaran”-nya sendiri, yang berbeda dari yang ditemukan “ilmu bukti”.  Dalam teater, seperti dalam politik, “kebenaran” selalu menggetarkan tapi selalu dalam proses. Tanpa arah yang pasti.
Demokrasi adalah pergulatan di tengah yang tak pasti itu. Mungkin itu kelebihannya. Ketidak-pastian sering diingkari, padahal itulah hidup itu sendiri.
Goenawan Mohamad

Senin, 29 Juli 2013 Dari Dunia Superhero: Sebuah Laporan - Goenawan Mohamad

Dipublikasikan di Majalah Prisma No. 6, Juni 1977.

..... Di samping mereka, ada satu tokoh lain yang lebih menonjol: Gundala Putera Petir. Ia berpakaian hitam-hitam, berupa kaus ketat yang menutupi seluruh tubuh dan sebagian dari wajahnya. Kepalanya pun tertutup dengan kedok hitam itu, dengan hiasan setangkai sayap atau bulu di masing-masing kupingnya. Kostum ini mirip Captain America. Bedanya: Gundala tertutup dalam warna gelap sedangkan pakaian Captain America -yang muncul di masa menjelang perang dunia II ketika patriotisme Amerika sedang pasang naik-berwarna merah putih biru. Beda lain tentu asal-usulnya. Disinipun, jejak science fiction tidak nampak jelas dalam Gundala. Captain America berasala dalam diri Steve Rogers, yang oleh Prof. Reinstein diberi serum tertentu sehingga sehingga memiliki tubuh dan mental yang luar biasa. Gundala
tak mengalamai proses "ilmiah" seperti itu. Dalam keadaan tidak "in action" ia adalah seorang insinyur muda, Sancaka yang tidak bisa berkelahi dan tidak populer di kalangan gadis. Sancaka suatu ketika diangkat anak oleh Kaisar Cronz, si raja petir, setelah suatu ketika ia tersambar geledek. Setiap kali mengenakan kalung pemberian Cronz dan membuka liontinnya, ia akan segera berubah menjadi Gundala. Ia tak bisa terbang, tapi punya kemampuan lari yang luar biasa cepat. Dan meskipun ia tidak kebal, ia sanggup menembakkan petir dari telapak tangannya.

**sumber: komikindonesia.com