Dalam bahasa Arab ada sepasang kata yang tiap kali diucapkan
seorang muslim: “rahman” dan “rahim”. Kata itu sering diterjemahkan jadi
“pengasih dan penyayang”, tapi lebih akurat bahasa Inggris-nya: compassioniate, dari kata compassion.
Ada yang meng-indonesia-kannya jadi “belarasa”, tapi saya kira kata “bela” mengandung hadirnya sebuah subyek yang menentukan sebuah laku, seperti dalam kata “bela diri” atau “bela sungkawa”. Compassion justru bermula dari saat tak menonjolnya subyek. Kata “rahim” juga berarti “kandungan”; dalam bahasa Ibrani, riḥam berakar kata reḥem, artinya “ibu” atau “rahim”. Di sanalah saat dua pihak bersentuhan akrab, saling menumbuhkan: aku ada bersama engkau, di dalam engkau, ketika rasa sakit, duka, dan kehilangan melukai engkau.
Kata “engkau” berarti siapa saja: liyan yang tak dibatasi identitas, liyan yang satu-satunya cirinya adalah menanggungkan penderitaan. Itulah saat compassion seperti dalam cerita Yesus tentang seorang Samaria yang tanpa pamrih menolong seorang Yahudi: menyelamatkan seorang yang luka-luka karena diserang perampok meskipun ia dan orang itu berasal dari puak-puak yang saling membenci.
Karen Armstrong memahami hal ini jauh sebelum ia menulis Twelve Steps to A Compassionate Life. Ia berbicara tentang kenosis, mengosongkan diri, membuat “aku” suwung, dan ekstasis, mengeluarkan diri. “Kita paling kreatif dan menyadari kemungkinan-kemungkinan lain yang melampaui pengalaman kita sehari-hari ketika kita meninggalkan diri kita”. Itu kalimatnya dalam The Spiral Staircase: My Climb Out of Darkness.
Buku yang terbit pada 2004 ini kisah pergulatan batinnya sejak pada 1962 ia masuk ke dalam kehidupan biarawati sampai ketika ia meninggalkannya — seraya melambai selamat tinggal kepada Tuhan dan imannya.
Perjalanan itu tak mudah. Sebuah puisi memberinya imaji tentang kegalauan diri itu. Armstrong, yang kemudian masuk ke jurusan sastra di Oxford, membaca sajak T.S. Eliot Ash Wednesday yang seakan-akan ingin menyusun doa di hari pertama puasa menjelang Paskah. Ia bayangkan sang penyair menaiki sebuah tangga spiral: naik, berpusar, berulang, mendaki terus. Dan biarawati muda itu merasa bahwa ia juga sedang berada dalam tangga berkelok-kelok ke atas itu: sebuah perjalanan puasa dan taubat. Ia merasa hatinya yang buncah ditemani baris-baris sajak yang memukau itu: saat-saat yang selaras berganti-ganti dengan yang ganjil, yang disonan, terkadang berulang-ulang, sering mengejutkan, tak jarang dalam susunan yang samar. Bahkan suram, antara tekad dan putus asa:
Meskipun dalam dirinya tak ada harapan kebangkitan kembali di ujung tangga spiral itu, tampaknya masih ada sisa makna tradisi itu ketika Armstrong berbicara tentang kenosis dan ekstasis dalam proses menyatukan diri dengan liyan, dengan yang di luar diri. Sebaris kalimat dalam Ash Wednesday bisa mengingatkan hubungan antara ketiadaan ego itu dengan kebersamaan: Forgetting themselves and each other, united/In the quiet of the desert. Ketika semua orang “melupakan diri mereka sendiri dan satu sama lain, mereka pun berpadu, dalam sunyi gurun pasir”.
Menarik, Armstrong mengacu ke sajak Eliot yang ditulis setelah sang penyair memilih jadi umat Gereja Anglikan (ia sebut “Anglo-Katolik”), sementara Armstrong sendiri meninggalkan kepercayaan Katoliknya. Dan lebih radikal, Tuhan tak hadir lagi dalam kehidupannya.
Tapi tak untuk selamanya. Kemudian ia menelaah agama di luar Kristen, mempelajari Islam dan Yudaisme. Ia pun merasa Tuhan berarti kembali justru dalam ketidak-hadiran. Armstrong menyebut dirinya “freelance monotheist”, seorang monotheis yang tak bergabung dalam agama apapun. Ada yang menyebutnya atheis, tapi baginya, atheisme sebenarnya menampik Tuhan dalam citra tertentu. Jika Tuhan dilihat sebagai satu ego yang mencampuri kemerdekaan dan kreatifitas manusia, Ia mirip tiran di bumi yang membuat siapa saja cuma sekrup dalam mesin yang dikontrolnya. Dalam hal itu atheisme dapat “dibenarkan”. Bagi Armstrong, Tuhan patut ditolak bila Ia membuat kita kejam, mudah menghakimi, menghukum, dan menyingkirkan, jauh dari sifat rahim.
Sebab yang utama adalah bagaimana berbuat baik. “Cara sejati menghormati Tuhan hanyalah dengan bertindak secara moral seraya tak menghiraukan bahwa Ia ada,” tulisnya dalam A History of God.
Bertindak secara moral berarti memperlakukan liyan, mereka yang bukan-aku, sebagai tanda rahmat-Nya. Dalam kalimat yang mengingatkan kita kepada Emanuel Lévinas, Armstrong mengatakan, kita kadang-kadang dapat menemukan Tuhan dalam “asingnya seorang asing”, “sebuah sifat asing yang mula-mula dapat membuat kita jijik tapi dapat menyentakkan kita dari sikap mementingkan diri sendiri”, meskipun orang itu “bukan bagian dari kelompok ethnik, agama atau ideologi kita”. Dalam “intonations of that sacred otherness” itulah kita dengar sabda Tuhan.
Di satu bagian Ash Wednesday ada baris yang bertanya, akankah suster yang bercadar itu berdoa juga bagi “anak-anak di pintu gerbang yang tak hendak pergi, yang tak bisa berdoa” — dan juga yang menentang.
Goenawan Mohamad
Ada yang meng-indonesia-kannya jadi “belarasa”, tapi saya kira kata “bela” mengandung hadirnya sebuah subyek yang menentukan sebuah laku, seperti dalam kata “bela diri” atau “bela sungkawa”. Compassion justru bermula dari saat tak menonjolnya subyek. Kata “rahim” juga berarti “kandungan”; dalam bahasa Ibrani, riḥam berakar kata reḥem, artinya “ibu” atau “rahim”. Di sanalah saat dua pihak bersentuhan akrab, saling menumbuhkan: aku ada bersama engkau, di dalam engkau, ketika rasa sakit, duka, dan kehilangan melukai engkau.
Kata “engkau” berarti siapa saja: liyan yang tak dibatasi identitas, liyan yang satu-satunya cirinya adalah menanggungkan penderitaan. Itulah saat compassion seperti dalam cerita Yesus tentang seorang Samaria yang tanpa pamrih menolong seorang Yahudi: menyelamatkan seorang yang luka-luka karena diserang perampok meskipun ia dan orang itu berasal dari puak-puak yang saling membenci.
Karen Armstrong memahami hal ini jauh sebelum ia menulis Twelve Steps to A Compassionate Life. Ia berbicara tentang kenosis, mengosongkan diri, membuat “aku” suwung, dan ekstasis, mengeluarkan diri. “Kita paling kreatif dan menyadari kemungkinan-kemungkinan lain yang melampaui pengalaman kita sehari-hari ketika kita meninggalkan diri kita”. Itu kalimatnya dalam The Spiral Staircase: My Climb Out of Darkness.
Buku yang terbit pada 2004 ini kisah pergulatan batinnya sejak pada 1962 ia masuk ke dalam kehidupan biarawati sampai ketika ia meninggalkannya — seraya melambai selamat tinggal kepada Tuhan dan imannya.
Perjalanan itu tak mudah. Sebuah puisi memberinya imaji tentang kegalauan diri itu. Armstrong, yang kemudian masuk ke jurusan sastra di Oxford, membaca sajak T.S. Eliot Ash Wednesday yang seakan-akan ingin menyusun doa di hari pertama puasa menjelang Paskah. Ia bayangkan sang penyair menaiki sebuah tangga spiral: naik, berpusar, berulang, mendaki terus. Dan biarawati muda itu merasa bahwa ia juga sedang berada dalam tangga berkelok-kelok ke atas itu: sebuah perjalanan puasa dan taubat. Ia merasa hatinya yang buncah ditemani baris-baris sajak yang memukau itu: saat-saat yang selaras berganti-ganti dengan yang ganjil, yang disonan, terkadang berulang-ulang, sering mengejutkan, tak jarang dalam susunan yang samar. Bahkan suram, antara tekad dan putus asa:
Because I do not hope to turn againPada mulanya adalah diri yang tak berarti. Di awal puasa, orang Katolik, tulis Armstrong, “membalur dahi mereka dengan abu untuk mengingatkan mereka akan kefanaan mereka”. Sebab hanya ketika kita menyadari kerapuhan dalam fitrah kita, kita akan dapat memulai ikhtiar kita untuk menjangkau.
Because I do not hope
Because I do not hope to turn
Meskipun dalam dirinya tak ada harapan kebangkitan kembali di ujung tangga spiral itu, tampaknya masih ada sisa makna tradisi itu ketika Armstrong berbicara tentang kenosis dan ekstasis dalam proses menyatukan diri dengan liyan, dengan yang di luar diri. Sebaris kalimat dalam Ash Wednesday bisa mengingatkan hubungan antara ketiadaan ego itu dengan kebersamaan: Forgetting themselves and each other, united/In the quiet of the desert. Ketika semua orang “melupakan diri mereka sendiri dan satu sama lain, mereka pun berpadu, dalam sunyi gurun pasir”.
Menarik, Armstrong mengacu ke sajak Eliot yang ditulis setelah sang penyair memilih jadi umat Gereja Anglikan (ia sebut “Anglo-Katolik”), sementara Armstrong sendiri meninggalkan kepercayaan Katoliknya. Dan lebih radikal, Tuhan tak hadir lagi dalam kehidupannya.
Tapi tak untuk selamanya. Kemudian ia menelaah agama di luar Kristen, mempelajari Islam dan Yudaisme. Ia pun merasa Tuhan berarti kembali justru dalam ketidak-hadiran. Armstrong menyebut dirinya “freelance monotheist”, seorang monotheis yang tak bergabung dalam agama apapun. Ada yang menyebutnya atheis, tapi baginya, atheisme sebenarnya menampik Tuhan dalam citra tertentu. Jika Tuhan dilihat sebagai satu ego yang mencampuri kemerdekaan dan kreatifitas manusia, Ia mirip tiran di bumi yang membuat siapa saja cuma sekrup dalam mesin yang dikontrolnya. Dalam hal itu atheisme dapat “dibenarkan”. Bagi Armstrong, Tuhan patut ditolak bila Ia membuat kita kejam, mudah menghakimi, menghukum, dan menyingkirkan, jauh dari sifat rahim.
Sebab yang utama adalah bagaimana berbuat baik. “Cara sejati menghormati Tuhan hanyalah dengan bertindak secara moral seraya tak menghiraukan bahwa Ia ada,” tulisnya dalam A History of God.
Bertindak secara moral berarti memperlakukan liyan, mereka yang bukan-aku, sebagai tanda rahmat-Nya. Dalam kalimat yang mengingatkan kita kepada Emanuel Lévinas, Armstrong mengatakan, kita kadang-kadang dapat menemukan Tuhan dalam “asingnya seorang asing”, “sebuah sifat asing yang mula-mula dapat membuat kita jijik tapi dapat menyentakkan kita dari sikap mementingkan diri sendiri”, meskipun orang itu “bukan bagian dari kelompok ethnik, agama atau ideologi kita”. Dalam “intonations of that sacred otherness” itulah kita dengar sabda Tuhan.
Di satu bagian Ash Wednesday ada baris yang bertanya, akankah suster yang bercadar itu berdoa juga bagi “anak-anak di pintu gerbang yang tak hendak pergi, yang tak bisa berdoa” — dan juga yang menentang.
Will the veiled sister praySaya yakin, Armstrong akan menjawab “seharusnya”.
For children at the gate
Who will not go away and cannot pray:
Pray for those who chose and oppose
Goenawan Mohamad