Posted by KabarNet pada 09/11/2010
Freeport adalah
pertambangan emas terbesar di dunia! Namun termurah dalam biaya operasionalnya.
Sebagian kebesaran dan kemegahan Amerika sekarang ini adalah hasil perampokan
resmi mereka atas gunung emas di Papua tersebut. Freeport banyak berjasa bagi segelintir pejabat negeri ini, para jenderal
dan juga para politisi busuk, yang bisa menikmati hidup dengan bergelimang
harta dengan memiskinkan bangsa ini.
Mereka ini tidak lebih baik daripada seekor lintah!
Akhir tahun 1996, sebuah
tulisan bagus oleh Lisa Pease yang dimuat dalam majalah Probe. Tulisan ini juga
disimpan dalam National Archive di Washington DC. Judul tulisan tersebut adalah
“JFK, Indonesia, CIA and Freeport.”
Walau dominasi Freeport atas gunung emas di Papua dimulai sejak tahun 1967, namun kiprahnya di negeri ini sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Dalam tulisannya, Lisa Pease mendapatkan temuan jika Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959.
Walau dominasi Freeport atas gunung emas di Papua dimulai sejak tahun 1967, namun kiprahnya di negeri ini sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Dalam tulisannya, Lisa Pease mendapatkan temuan jika Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959.
Saat itu Fidel Castro
berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan
asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak
melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan
terjadi. Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan
upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.
Ditengah situasi yang penuh
ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur
Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur pelaksana East Borneo
Company, Jan van Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya
menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di
Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu
sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun
begitu saja di perpustakaan Belanda. Van Gruisen tertarik dengan laporan
penelitian yang sudah berdebu itu dan membacanya.
Dengan berapi-api, Van
Gruisen bercerita kepada pemimpin Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan
tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan
alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lainnya diseluruh dunia,
maka kandungan biji tembaga yang ada disekujur tubuh Gunung Ersberg itu
terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah.
Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke
Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah
laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat
dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.
Selama beberapa bulan,
Forbes Wilson melakukan survey dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga
wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku
berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson menyebut gunung tersebut
sebagai harta karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi
karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah. Dari udara,
tanah disekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari.
Wilson juga mendapatkan
temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga,
gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak!! Menurut Wilson,
seharusnya gunung tersebut diberi nama GOLD MOUNTAIN, bukan Gunung Tembaga.
Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan
untung besar dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal. Pimpinan Freeport
Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur
meneken kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung
tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport
Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di
Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam.
Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno malah mulai
menerjunkan pasukannya di Irian Barat.
Tadinya Wilson ingin
meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar mendinginkan
Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah spertinya mendukung Soekarno. Kennedy
mengancam Belanda, akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot
mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar
untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang
Dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.
Ketika itu sepertinya
Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas,
bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka
nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya
dibanding nilai emas yang ada di gunung tersebut.
Dampak dari sikap Belanda
untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East
Borneo Company mentah kembali. Para pemimpin Freeport jelas marah besar.
Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada
Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini
jelas harus dihentikan!
Segalanya berubah seratus
delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963.
Banyak kalangan menyatakan penembakan Kennedy merupakan sebuah konspirasi besar
menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya
atas kebijakan politik di Amerika.
Presiden Johnson yang
menggantikan Kennedy mengambil sikap yang bertolak belakang dengan
pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia,
kecuali kepada militernya. Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan
Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah
Augustus C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport.
Tokoh yang satu ini memang
punya kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long
juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of
California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak
perminyakan yang mengharuskan 60persen labanya diserahkan kepada pemerintah
Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di
Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.
Augustus C.Long amat marah
terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan
secepatnya. Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C.Long juga aktif di
Presbysterian Hospital di NY dimana dia pernah dua kali menjadi presidennya
(1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu
simpul pertemuan tokoh CIA.
Lisa Pease dengan cermat
menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long
pensiun sementara sebagai pemimpin Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini
dalam masa itu yang di Indonesia dikenal sebagai masa yang paling krusial.
Pease mendapatkan data jika
pada Maret 1965, Augustus C.Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah
satu perusahaan Rockefeller. Augustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan
penasehat intelejen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini
memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di
Negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta
terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira
Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Salah satu bukti sebuah
telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan jika
kelompok Jendral Suharto akan mendesak angkatan darat agar mengambil-alih
kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc
Gehee juga pernah bersaksi jika hal itu benar adanya.
Awal November 1965, satu
bulan setelah tragedi terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Soekarno, Forbes
Wilson mendapat telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams,
yang menanyakan apakah Freeport sudah siap mengekplorasi gunung emas di Irian
Barat. Wilson jelas kaget. Ketika itu Soekarno masih sah sebagai presiden
Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian
Barat akan jatuh ke tangan Freeport?
Lisa Pease mendapatkan
jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak dengan tokoh
penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan
dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius Tahija. Orang yang terakhir ini
berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo
sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat karena dialah yang menutup
seluruh anggaran operasional mereka.
Sebab itulah, ketika UU no
1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di
Jenewa-Swiss yang didektekan Rockefeller, disahkan tahun 1967, maka perusahaan
asing pertama yang kontraknya ditandatangani Suharto adalah Freeport!. Inilah
kali pertama kontrak pertambangan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno
kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka
sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah merugikan Indonesia.
Untuk membangun konstruksi
pertambangan emasnya itu, Freeport mengandeng Bechtel, perusahaan AS yang
banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John McCone memiliki saham di
Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan
internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport
menggandeng McMoran milik “Jim Bob” Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia
dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun.
Tahun 1996, seorang
eksekutif Freeport-McMoran, George A.Maley, menulis sebuah buku berjudul
“Grasberg” setelab 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat
itu memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya
menempati urutan ketiga terbesar didunia.
Maley menulis, data tahun
1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar
40,3 miliar dollar AS dan masih akan menguntungkan 45 tahun ke depan.
Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis jika biaya produksi tambang emas
dan tembaga terbesar di dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang
termurah di dunia!!
Istilah Kota Tembagapura
itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya EMASPURA. Karena gunung
tersebut memang gunung emas, walau juga mengandung tembaga. Karena kandungan
emas dan tembaga terserak di permukaan tanah, maka Freeport tinggal
memungutinya dan kemudian baru menggalinya dengan sangat mudah. Freeport sama
sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan
kuat dari Grasberg-Tembagapur a sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut
Arafuru dimana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut emas dan
tembaga itu ke Amerika. Ini sungguh-sungguh perampokan besar yang direstui oleh
pemerintah Indonesia sampai sekarang!!!
Kesaksian seorang reporter
CNN yang diizinkan meliput areal tambang emas Freeport dari udara. Dengan
helikopter ia meliput gunung emas tersebut yang ditahun 1990-an sudah berubah
menjadi lembah yang dalam. Semua emas, perak, dan tembaga yang ada digunung
tersebut telah dibawa kabur ke Amerika, meninggalkan limbah beracun yang
mencemari sungai-sungai dan tanah-tanah orang Papua yang sampai detik ini masih
saja hidup bagai di zaman batu.
Freeport merupakan ladang
uang haram bagi para pejabat negeri ini, yang dari sipil maupun militer. Sejak
1967 sampai sekarang, tambang emas terbesar di dunia itu menjadi tambang
pribadi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Freeport McMoran
sendiri telah menganggarkan dana untuk itu yang walau jumlahnya sangat besar
bagi kita, namun bagi mereka terbilang kecil karena jumlah laba dari tambang
itu memang sangat dahsyat. Jika Indonesia mau mandiri, sektor inilah yang harus
dibereskan terlebih dahulu.
Penulis: Effie
Emzieta (KASKUS.US)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar